Dari Abu Hurairah -Radhiallahu ‘anhu- dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Safar itu merupakan penggalan dari adzab, (karena safar) niscaya akan membuat salah seorang dari kalian terhalang untuk makan, minum dan tidur. Maka jika seseorang telah selesai urusannya maka hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya.”[1]
Di antara adab-adabnya :
1. Disunnahkan berpamitan lebih dulu bagi orang yang hendak pergi.
Disunnahkan bagi musafir untuk berpamitan kepada keluarga, kerabat dan saudara-saudaranya. Berkata Ibnu Abdil Barr –rahimahullah-: “Jika salah seorang dari kalian keluar bersafar maka hendaklah ia berpamitan kepada saudaranya, karena Allah -Subhanahu wa Ta`ala- menjadikan padadoa mereka barakah.”
Berkata Asy-Sya`bi –rahimahullah-: “Sunnahnya jika seseorang datang dari safar untuk mengunjungi saudaranya dan menyalaminya, kemudian jika ia hendak bersafar adalah mendatangi mereka dan berpamitan serta mengharapkan doa mereka.”[2]
Berpamitan sebelum menjalankan safar, terdapat sebuah sunnah yang telah terabaikan. Sangat sedikit orang yang mengamalkannya, yakni seorang musafir berpamitan dengan mengucapkan doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana diriwayatkan oleh Qaz`ah, dia berkata: Ibnu Umar berkata kepadaku: “Kemarilah, akan saya berpamitan kepada engkau sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpamitan kepadaku, yaitu beliau mengucapkan doa :
“Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanatmu, dan akhir amalanmu.”[3]
Sabda beliau, ( Aku titipkan kepada Allah agamamu ), maksudnya yaitu: Aku minta engkau minta engkau menjaga dan aku minta kepada Allah agar menjaga agamamu. Adapun (dan amanahmu ), berkata Al-Khaththabi –rahimahullah-: “Amanat di sini berarti keluarganya/istrinya dan orang-orang yang ditinggalkannya, dan hartanya yang ditinggalkan serta meminta kepada orang yang dipercaya olehnya serta wakilnya dan semua yang semakna dengan hal tersebut untuk menjaga harta tersebut. Penyertaan penyebutan agama bersamaan dengan ucapan berpamitan, disebabkan safar adalah tempat seseorang berada dalam kekhawatiran dan bahaya. Terkadang seseorang akan tertimpa hal-hal yang mneyusahkan dan keletihan yang menyebabkan dia akan mengabaikan beberapa eprkara yang berkaitan dengan agama. Olehnya itu, didoakan baginya agar mendapatkan pertolongan dan taufiq dalam dua keadaan tersebut ”[4]
Dari Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- berkata: “Seseorang hendak safar, maka ia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, berilah wasiat kepadaku.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Aku wasiatkan kepadamu untuk selalu bertaqwa kepada Allah ‘azza wajalla, dan bertakbir setiap melewati jalan yang menaik.”
Setelah orang tersebut berlalu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ya Allah, hamparkalah baginya bumi dan mudahkanlah safarnya.”[5]
2. Dibencinya safar sendirian
Terdapat hadits Abdullah bin ‘Amr -radhiallahu ‘anhuma-, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:
“Sekiranya manusia mengetahui apa-apa yang terjadi sewaktu bersafar sendirian sebagaimana yang aku ketahui. Niscaya tidakseoragpun yang akan melakukan safar diwaktu malam sendirian ”[6]
Didalam hadits ini terdapat beberapa faedah, diantaranya:
Pertama: Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengabarkan kepada ummat beliau segala marabahaya yang akan terjadi sebagai akibat seseorang bersafar sendirian yang telah beliau ketahui indikasi peringatan beliau bagi seseorang yang bersafar sendirian.
Kedua: Bahwa larangan bersifat umum baik di waktu malam maupun di waktu siang. Pengkhususkan malam yang disebutkan dalam hadits di atas karena keburukan-keburukan di waktu malam lebih banyak dan bahayanya lebih besar.
Ketiga: Bahwa larangan tersebut juga umum mencakup yang berkendaraan maupun yang berjalan kaki. Seperti pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Niscaya tidak seorangpun yang berkendara diwaktu malam.” Sebagai penyebutan sesuatu yang dominan terjadi. Disebabkan seorang yang berjalan kaki semakna dengan seseorang berkendaraan. Wallahu A`lam.
Larangan safar sendirian juga terdapat dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash -radhiallahu ‘anhuma-, berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Yang bersafar sendirian maka temannya adalah syaithan, dan yang bersafar hanya berdua maka temannya adalah syaithan, dan yang bersafar bertiga maka dia yang dinamakan bersafar.” [7]
Berkata Al-Khaththabi –rahimahullah-: maknanya bahwa sendirian dan bepergian seorang diri melintasi perjalanan dimuka bumi adalah termasuk perbuatan syaithan, yaitu suatu perbuatan yang muncul dari dorongan syaithan dan ajakannya. Demikian juga dengan safar hanya berdua. Maka jika telah bertiga inilah perjalanan secara fberkelomok dan saling menemani.
Beliau berkata: “Seorang yang safar sendirian, jika ia meninggal tidak ada yang memandikannya, mengkafaninya dan mempersiapkan segala perngurusan jenazahnya. Dan tidak ada seorangpun yang dapat diwasiatkan kepadanya hartanya dan yang mengantarkan warisannya kepada keluarganya dan menyampaikan kabar keberadaaya kepada mereka. Atau tidak ada seorangpun yang menyertainya didalam safar tersebut yang akan menolong bawaanya. Maka jika telah bertiga dalam safarnya, mereka bisa saling tolong-menolong, saling bergiliran dalam menjaga, saling melindungi dan mereka dapat shalat berjamaah serta mereka akan memperoleh penjagaan padanya.”[8]
3. Disunnahkan mengangkat pemimpin jika safarnya tiga orang atau lebih
Syariat mengajak untuk bersatu dan melarang perpecahan karena syariat menganjurkan demikian serta menganjurkan hal yang demikian. Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri -radhiallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika tiga orang keluar untuk safar maka angkatlah salah satu di antara kalian sebagai pemimpin.”[9]
Apabila pada safar tersebut terdapat perkara-perkara yang adanya kebersamaan sesama yang melakukan safar dan slaign ketergantungan diantara mereka , maka disukai kepada para musafir -yang jumlahnya tiga orang atau lebih tersebut- untuk mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin yang akan membimbing dan mengarahkan mereka bagi kemaslahatan mereka. Kemudian wajib atas mereka untuk mentaatinya dan mengikuti segala yang ia perintahkan selain bukan perintah untuk berbuat maksiat kepada Allah -Subhanahu wa Ta`ala-. Apabila mereka telah melakukan yang demikian maka akan dihasilkan persatuan sesama mereka, serta adanya ketenangan di dalam hati mereka. Dan juga kan tercapai penyelesaian segala bentuk urusan dan keperluan mereka dialam safa mereka tanpa adanya kesusahan dan mencegah kebencian terjadi ditengah-tengah mereka. Anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengangkat satu pemimpin di antara mereka ketika bersafar merupakan peringatan untuk bersatu di bawah satu kekuasaan. Wallahu A`lam.
4. Dilarang membawa anjing dan lonceng dalam safar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari membawa anjing dan lonceng dalam safar. Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Malaikat tidak akan menemani safar seseorang yang ditemani anjing dan membawa lonceng/alat musik.[10]”[11]
Sebab dilarangnya lonceng karena itu merupakan terompet syaithan. Dalam hal ini terdapat jelas dalam riwayat Muslim dan selainnya dari hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Terompet adalah merupakan seruling syaithan.”[12]
An-Nawawi –rahimahullah- mengatakan: “… Adapun al-jaras (lonceng) dikatakan sebagai sebab berpalingnya atau larinya malaikatdikarenakan menyerupai lonceng gereja atau dikarenakan termasuk gantungan yang terlarang. Diantara ulama ada yang berpendapat sebabnya karena suaranya yang dibenci, yang dikuatkan dengan banyak riwayat dengan lafazh seruling syaithan.[13]
Adapun anjing maka terjadi perbedaan pendapat dalam sebab larangan membawa anjing dalam safar. Diantara ulama ada yang berpendapat bahwa ketika larangan untuk memelihara anjing – selain anjing penjaga dan pemburu – dimana yang menjadikan anjing sebagai peliharaan akan diberi balasan bahwa para malaikat akan menghindari menemaninya yang kemudian dia akan terhalangi dari barakah para malaikat, ampunan dan bantuan mereka dalam rangka ketaatan kepada Allah -Subhanahu wa Ta`ala-. Ada yang berpendapat larangan tersebut disebabkan anjing adalah hewan yang najis.[14] Wallahu a`lam.
5. Dilarang bagi wanita safar tanpa ada mahram
Syariat yang suci melarang seorang wanita safar sendirian tanpa ditemani mahram. Dikarenakan akan menjadi penyebab terjadinya fitnah pada dirinya dan kaum laki-laki yan berada disekitarnya.
Terdapat hadits-hadits yang shahih yang tidak ada kelemahan padanya serta tidak ada celah untuk melemahkannya atau mentakwilkannya.
Asy-Syaikhan dan selain keduanya meriwayatkan bahwa Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bersafar dalam jarak sehari semalam tanpa didampingi mahram.”
Dalam lafazh Muslim:
“Tidak halal bagi wanita Muslimah untuk safar dalam jarak semalam kecuali bersamanya seorang laki-laki yang merupakan mahramnya.”[15]
Dari Ibnu Abbas -radhiallahu ‘anhuma-, dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak halal setiap laki-laki berkhalwat – berduaan –denganseorang wanita, dan tidak boleh bagi wanita bersafar kecuali bersama mahramnya.”
Maka seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah terdaftar untuk ikut perang ini dan itu sedang istriku akan melakukan haji.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Pergilah, temani istrimu berhaji.”[16]
Sebagaimana anda telah lihat bahwa larangan yang melarang seorang wanita safar dalam jarak sehari semalam tanpa mahram demikian jelasnya. Baik itu suaminya, bapaknya, saudaranya ataupun mahram wanita tersebut selain dari mereka. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki yang telah terdaftar dalam perang untuk berjihadpun agar mendahulukan mengantar istrinya berangkat haji. Ini merupakan dalil yang cukup jelas menunjukkan haramnya safar wanita tanpa ditemani mahramnya.
An-Nawawi –rahimahullah- mengatakan: “Dalam hadits tersebut terdapat didapati perintah mendahulukan yang lebih penting pada beberapa perkara yang saling kontardiktif. Karena sewaktu laki-laki tersebut bepergian untuk menunaikan jihat bertabrakan dengan kewajiban untuk mennerjakan haji menemani istrnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengedepankan agar laki-laki tersebut berhaji bersama istrinya. Karena berjihad dapat dikerjakan orang selain dirinya berbeda halnya dengan ibadah haji menemani istrinya”[17]
Syubhat: Seringkali terdengar ddari pembicaraan sebagian kaum muslmin bahwa safarnya wanita sendirian di zaman ini adalah darurat yang tidak dapat terelakkan. Kondisi zamanpun mengharuskan hal itu Mereka berargumen bahwa bersendirinya wanita sewaktu safar telah tertiadakan ketika wantia tersebut bersafar dengan menggunakan pesawat atau kereta api dan yang smeislanya. Salah seorang dari mereka mungkin akan mengatakan: “Apa yang melarang jikalau saya sendiri yang mengantarkan istriku menuju bandara dan memastikannya telah menaiki pesawat kemudian setelah sampai ia dijemput saudaranya di tempat tujuannya?”
Jawab:
Pertama, Fitnah wanita merupakan sbesar-besar finah yang telah menimpa umat-umat yang telah lampau. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang serta memperingatkan kita dalam sabdanya:
“Sesungguhnya dunia itu suatu yang indah dan menarik. Dan sesungguhnya Allah telah menjadikan kalian sebagai khalifah diatas dunia ini maka lihatlah bagaimana kalian beramal. Takutlah kalian kepada wanita karena awal fitnah yang telah menimpa Bani Israel adalah karena fitnah wanita.”[18]
Maka jika dibiarkan wanita safar sendirian tanpa mahram dan bekerja bersama dengan kaum laki-laki yang berada disisinya, lalu wanita tersebut memegang tampuk kepemimpinan, sesungguhnya hal itu merupakan peringatan suatu musibah akan menimpa kita sebagaimana musibah yang telah menimpa Bani Israil –kita mohon perlindungan kepada Allah -
Kedua, terlebih dahulu perlu untuk mendudukkan persoalan yang sebenarnya tanpa melebarkannya. Yakni bahwa wanita adalah makhluk yang lemah, cepat terpengaruh, mudah terpedaya, dan senantiasa butuh perlindungan laki-laki dan bantuannya dalam segala aspek kehidupannya.[19]
Apabila hal itu juga disertai kelemahan iman dan agama yang ada didalam hati sebagian besar kaum laki-laki, perkara ini akan semakin bertambah berbahaya dan fitnahnya akan semakin besar. Dan siapa saja yangmengatakan khalwat akan tertiadakan dengan menaiki pesawat maupun sejenisnya yang merupakan alat angkut umum. Pendapat tersebut akan terbantahkan bahwa duduknya wanita tersebut berada disampin laki-laki asing, berbicara langsung dengan mereka ketika hendak memenuhi kebuuhannya terdapat hal yang diinginkan. Orang-orang yang hatinya sakit sangatlah banyak, serta mereka yang matanya penuh dengan pengkhianatan sangatlah banyak. Sementara diluar itu semua, wanita tersebut tidak seorangpun yang mengawasinya – berupa mahramnya – dan menjaganya.
Adapun mengantarkannya sendirian mengendarai pesawat misalnya sebagai sebagai sarana bepergian menuju negeri lainnya dan dijemput di negeri tujuan, pemisalan seperti ini dan yang semisalnya dapat dijawab : Apakah anda mengetahui jikalau pesawat yang ditumpanginya dengan terpaksa mesti mendarat kesebuah negeri lain selain tujuan yang dimaksud karena adalah kerusakan pada pesawat tersebut – yang mana hal ini seringkali terjadi -. Lebih buruknya lagi sekiranya para musafir tersebut dengan sangat terpaksa mesti menginap sehari atau dua hari dinegeri ini, maka dimanakah muhrimnya ? Dan siapakah yang akan melayaninya mengurusi penginapan, makan dan minumnya ?!
6. Disunnahkan safar pada pagi hari kamis.
Termasuk petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sekian banyak safar beliau bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai keluar untuk safar pada pagi hari kamis.
Dari Ka`ab bin Malik -radhiallahu ‘anhu-: “Bahwa nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari kamis pada waktu Perang Tabuk dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai keluar bersafar pada hari kamis.”
Pada riwayat Ahmad: “ Sangatlah jarang apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak keluar untuk suatu perjalanan kecuali beliau lakukan pada hari kamis “[20]
Dari Shakhr Al-Ghamidi -radhiallahu ‘anhu- dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata:
“Ya Allah, berikan barakah pada ummatku di waktu pagi mereka.”
Dan jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan, mereka diutus pada waktu pagi hari. Dan Shakhr sendiri adalah seorang pengusaha dan sering mengutus perdagangannya pada waktu pagi hari. Sehingga dia menjadi kaya raya dan hartanya menjadi sangat banyak.[21]
Masalah: Apa hukum safar di hari jumat?
Jawab: Mazhab Hanabilah berpendapat: Tidak diperbolehkan bagi seseorang yang dikenai kewajiban shalat jum’at melakukan safar pada hari jumat setelahmatahari tergelincir. Sekiranya dikatakan: setelah terdengar adzan shalat jumat adalah lebih utama, karena Allah -Subhanahu wa Ta`ala- memerintahkan untuk memenuhi pangilan adzan pada hari jumat setelah terdengan adzan shalat jumat dan meninggalkan jual beli.Berarti hukum safar terseut bergantung dengan adzan.
Allah -Subhanahu wa Ta`ala- berfirman:
“ Wahai orang-orang yang beriman, apabila telah diserukan adzan untuk mengerjakan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah untuk berdzikir kepada Allah dan tinggalkanlah jual beli kalian. Hal itu akan lebih baik bagi kalian apabila kalian mengetahuinya “ ( Al-Jumu’ah : 9 )
Akan tetapi dapat dikatakan: Bahwa tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat jumat dan dengan berpedoman pada tergelincirnya matahari maka masuklah waktu shalat jumat.[22]
7. Doa-doa ketika bersafar
Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah senantiasa membiasakan berdoa dan berdzikir. Musafir mengucapkannya dimulai sejak meletakkan kakinya di kendaraannya sampai ia kembali ke tempat semula. Di antara doa-doanya adalah:
a. Doa ketika naik kendaraan
Dari Ali bin Rabi`ah -radhiallahu ‘anhu-, berkata: “Aku menyaksikan Ali -Radhiallahu ‘anhu-saat didatangkan unta kepadanya sampai ia menaikinya. Ketika ia meletakkan kakinya di ontanya ia berdoa: “ Dengan menyebut nama Allah.” Kemudian membaca doa:
“Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnyalah kepada Rabb kami, kami akan kembali ” (Az-Zukhruf: 13-14).
Kemudian beliau mengucapkan: “Segala puji hanya bagi Allah “.Sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengucapkan: “Allah Maha Besar.” Sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengucapkan:
“Maha Suci Engkau Ya Allah, sesungguhnya aku telah berbuat zhalim terhadap diriku, maka ampunilah aku, sesungguhnya tidak ada yang akan mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau”.
Kemudian beliau tertawa, maka ditanyakan kepada beliau: “Wahai Amirul Mukminin, apa yang menyebabkan anda tertawa?
Ali berkata: “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berbuat demikian sebagaimana aku lakukan, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa”. Lalu saya bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang menyebabkan anda tertawa? “
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Rabbmu takjub dengan hamba-Nya jika ia berdoa memohon ampun kepada-Ku dari dosa-dosanya, sementara ia mengetahui bahwa tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosanya selain diri-Ku’.”[23]
- Doa ketika berangkat dan pulang dari safar
Ibnu Umar -Radhiallahu ‘anhuma- meriwayatkan , bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika telah di atas onta beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pergi safar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir sebanyak tiga kali. kemudian berdoa:
“Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnyalah kepada Rabb kami, kami akan kembali ” ( QS. Az-Zukhruf: 13-14)
Ya Allah, sungguh kami memohon kepada Engkau dalam safar ini kebaikan dan ketaqwaan, dan amalan-amalan yang Engkau ridhai. Ya Allah, berilah kemudahan bagi kami dalam safar kami ini, dekatkanlah jaraknya bagi kami sesudahnya. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan dalam safarku dan pemandangan yang menyedihkan, dan dari kembalian yang buruk pada harta dan keluargaku”
Dan apabila beliau kembali dari safar beliau mengucapkan kembali doa tersebut dan menambahkannya dengan ucapan:
“ Sebagai orang-orang yang kembali, bertaubat dan beribadah, lalu kepada Rabb kami, kami memuji “.[24]
Juga diriwayatkan dari Ibnu Umar -radhiallahu ‘anhuma- beliau berkata: “ Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersiapkan kafilah untuk pergi berperang, atau berhaji atau umrah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir sebanyak tiga kali pada setiap melewati jalan yang menaik, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:
“Tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selalin Allah. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dialah yang memiliki kekuasaan dan bagi-Nyalah, segala pujian hanya bagi-Nya dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Aku bertaubat dengan sepenuh taubat, aku termasuk orang-orang yang beribadah dan sujud kepada-Nya dan hanya kepada Rabb kami mereka memuji. Maha benar Allah dengan segala janjinya, yang senantiasa menolong hamba-hamba-Nya dan Dia-lah satu-satunya yang akan mengalahkan musuh-musuhnya.”[25]
- Dzikir ketika berada di atas bukit, lereng dan lembah
Dalam hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang telah lewat- bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada akhir haditsnya:
“Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama tentara-tentara beliau berada di atas bukit mereka bertakbir dan jika mereka sedang menuruni lereng mereka bertasbih. Maka akupun mengucapkan doa seperti itu.”[26]
- Doa ketika mendekati suatu daerah atau selainnya
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah-: “ Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekati suatu daerah dan beliau ingin memasukinya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:
“Ya Allah Rabb tujuh lapis langit dan setiap yang dinaunginya, Rabb tujuh lapis bumi dan setiap yang memnghuninya, Rabb Syaithan-syaithan dan setiap yang tersesat karena godaannya dan Rabb angin dan semua yang ditaburkan olehnya. Aku memohon kepada Engkau kebaikan dari desa ini dan kebaikan penduduknya dan aku berlindung kepada Engkau dari kejelekan dan kejelekan penduduknya dan seluruh kejelekan yang muncul darinya.”[27]
- Dzikir-dzikir yang disunnahkan bagi musafir yang berangkatnya pada waktu shubuh.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bepergian pada waktu shubuh beliau berdoa:
“ Sesungguhnya setiap yang mendengar telah mendengar pujian Allah dan cobaan yang baik yang diberikan kepada kami. Wahai Rabb kami, sertailah kami dan berilah keutamaan bagi kami. Kami berlindung kepada Allah dari api neraka “[28]
Faedah: Sepantasnya bagi musafir untuk memanfaatkan setiap safarnya dan berdoa untuk dirinya, bapaknya serta keluarganya dan bagi orang yang dicintainya. Dan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa. Dan untuk memilih mana doa yang mencakup semuanya, disertai dengan suara lirih berharap serta menundukkan hati disaat berdoa. Dikarenakan doa seorang musafir adalah doa yang akan terkabulkan, maka tidak sepantasnya meremehkan doa tersebut.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallampernah bersabda:
“Tiga jenis doa yang yang mustajab (dikabulkan) tanpa diragukan lagi, yaitu: doa orang tua kepada anaknya, doa seorang musafir, dan doa orang yang sedang dizhalimi.”[29]
8. Shalat sunnah dalam safar
Termasuk sunnah yang telah banyak ditinggalkan adalah shalat sunnah bagi musafir di atas kendaraannya. Sangat sedikit orang yang dapat anda lihat mengerjakan shalat sunnah atau shalat witir di atas pesawat atau sarana safar lainnya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukan hal itu pada setiap safar beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa harus sesuai memperhatikan arah kiblat dalam melaksanakan shalat sunnah bagi musafir jika memang ia merasa kesulitan menentukan arah kiblatnya, yang utama adalah menghadap kiblat adalah ketika ia sedang berihram.
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan, beliau berkata:
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat diatas tunggangan beliau ketika dalam safar dimana beliau mengarahkan tunggangannya kearah kiblat dan shalat dengan memberi isyarat. Beliau mengerjakannya hanya pada shalat al-lail tidak pada shalat fardhu dan beliau mengerjakan shalat witir di atas kendaraan beliau.”[30]
Berdasarkan hadits inilah, disunnahkan bagi musafir untuk shalat sunnah dan witir di atas kendaraannya dalam safarnya sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Masalah: Apakah boleh bagi musafir untuk shalat fardhu di atas pesawat terbang, mobil atau kereta api apabila dalam keadaan darurat ? Ataukah mengakhirkannya hingga dia sampai di tempat yang memungkinkan baginya untuk mengerjakan? Dan haruskah ia menghadap kiblat?
Jawab: Pertanyaan serupa telah dijawab oleh Lajnah Da`imah dengan jawaban sebagai berikut:
“ Jika pengendara mobil, kereta api, pesawat terbang atau ia menaiki binatang kaki empat, dia merasa khawatir pada dirinyasekiranya dia turun dan mengerjakan shalat fardhu sementara dia mengetahui jikalau dia mengakhirkannya pada tempat yang memungkinkan dia mengerjakan shalat maka dia akan terlewatkan waktu shalat. Maka dia seharusnya mengerjakan shalat sesuai dengan kemampuannya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala:
“Tidaklah Allah akan membebani seorang hamba kecuali sebatas kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)
Dan Firman Allah Subhanahu wa Ta`ala:
“Dan bertaqwalah kalian sesuai dengan kemampuan kalian.” ( QS. At-Taghabun: 16)
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta`ala:
“ Dan tidaklah Allah menjadikan kesusahan bagi kalian dalam – mengerjakan - agama ( QS. Al-Hajj: 78)
Adapun shalatnya dia menghadap kearah mana kendaran-kendaraant ersebut mengarah ataukah seharusnya menghadap kearah kiblat selalu dan seterusnya ataukah diawal mula saja, hal ini kembali kepada yang memungkinkan baginya. Apabila dia memungkinkan untuk menghadap kearah kiblat diselurh pengerjaan shalatnya maka dia wajib untuk melakukan hal itu. Dikarenakan menghadap kearah kiblat adalah syarat shahihnya shalat wajib baik dalam keadaan safar atau mukim. Dan apabila tidak memungkinkan baginya menghadap kearah kiblat pada seluruh pengerjaan shalatnya, maka hendaknya dia takut kepada Allah semampu dia, sesuadi dengan dalil-dalil yang telah dikemukakan sebelumnya.[31]
9. Doa ketika singgah di suatu tempat
Seorang musafir akan membutuhkan untuk turun singgah di suatu tempat ketika hendak tidur, istirahat, makan atau menunaikan hajat, sedangkan di tempat tersebut mungkin saja terdapat hewan-hewan berbisa, hewan buas dan para syaithan yang hanya Allah subhanahu wa ta`ala yang mengetahui. Maka termasuk nikmat Allah Subhanahu wa Ta`ala atas kita pensyariatan Allah bagi kita melalui lisan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa doa-doa yang apabila kita ucapkan niscaya Allah akan menjaga kita –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta`ala- dari setiap kejelekan makhluk yang ada.
Dari Khaulah binti Hakim As-Sulamiyyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia berdoa:
“ Aku berlindung kepada dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan makhluk yang Engkau ciptakan. Tidak akan ada sesuatupun yang dapat memudharatkan sampai ia berlalu dari tempat tersebut.”[32]
Dari hadits di atas dapat diambil beberapa faedah, di antaranya:
- Doa di atas diucapkan ketika ia melintasi semua tempat ataukah singgah dan turun ditempat tersebut. Hadits diatas tidak berlaku khusus di saat seorang musafir turun dari kendaraannya saja.
- Bahwa dari kalam Allah tabaaraka ismuhu, adalah salah satu dari sekian sifat-sifat Allah dan bukanlah makhluk.Karena mustahil beliau meminta perlindungan kepada makhluk. Ini merupakan salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr –Rahimahullah-.[33]
- Bahwa seorang yang berdoa dengan doa ini ketika ia singgah di suatu tempat ia akan dijaga dengan penjagaan dari Allah subhanahu wa ta`ala dan tidak akan ada sesuatupun yang akan dapat mendatangkan mudharat kepadanya sampai ia meninggalkan tempat tersebut. Berkata Al-Qurthubi –rahimahullah-: “ Hadits ini adalah merupakan hadits yang shahih dan merupakan perkataan yang benar, yang telah kita ketahui benarnya secara dalil maupun secara pengalaman. Sungguh sejak aku pertama kali mendengar hadits ini dan aku amalkan maka benar-benar tidak ada sesuatu pun yang mendatangkan kemudharatan kepadaku. Hingga suatu saat aku tidak mengamalkannya doa tersebut. Maka pada suatu malam aku disengat kalajengking diwilayah Al-Mahdiyah. Lalu aku berpikir dalam hatiku apa yang telah aku lupakan, yang ternyata aku dapati aku lupa berlindung kepada Allah subhanahu wa ta`ala dengan membaca doa di atas.[34]
- Disunnahkan untuk tinggal sementara dan makan secara bersama di satu tempat.
Allah subhanahu wa ta`ala menjadikan kekuatan, kemuliaan, kekokohan dan barakah didalam persatuan. Dan Allah ta`ala menjadikan di dalam perpecahan ketakutan, kelemahan, dikuasai oleh musuh dan tercabutnya barakah Allah
Apabila suatu kaum melakukan perjalanan bersama-sama disunnahkan bagi mereka berkumpul pada tempat di mana mereka tiba dan bermalam. Demikian juga mereka bersama-sama makan agar mereka mendapatkan berkah.
Adapun berkumpul ditempat mereka singgah, hal tersebut telah diriwayatkan oleh Abu Tsa`labah Al-Khusyani -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
“Ketika para sahabat singgah di suatu tempat, para sahabat tersebut berpencar di lembah dan wadi , maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jika kalian berpencar seperti ini ada yang di bukit aada yang di lembah, sungguh yang demikian ini adalah termasuk dari godaan syaithan.
Setelah itu apabila mereka tun dfan singgah disuatu tempat mereka tidak lagi berpencar melainkan mereka saling berkumpul sebagian dengan sebagian lainnyahingga apabila dihamparkan sebuah pakaian kepada mereka niscaya akan mencakup mereka semua”[35]
Berkumpul bersama dalam makan, akan mendatangkan berkah dan juga dan akan ditambahkan rezeki bagi mereka. Dari Husyai bin Harb dari Bapaknya dari Kakeknya, beliau berkata: Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Wahai Rasulullah, kami telah makan namun kami tidak bisa kenyang.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mungkin karena kalian makan dengan terpisah-pisah?”
Para sahabat menjawab: “Benar.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambesabda: “Berkumpullah kalian dalam makan di satu tempat dan sebutlah nama Allah, niscaya Allah akan memberikan barakah pada makanan tersebut bagi kalian.”[36]
Faedah: Disunnahkan at-tanahud ketika berada dalam sebuah perjalanan. An-nahdu adalah perbuatan dimana masing-masing teman mengeluarkan sesuatu berupa iuran sedekah yang mereka kumpulkan kepada salah seorang yang orang tersebut lalu membelanjakan makanan bagi mereka kemudia mereka bersama-sama makan.[37]
Seseorang bertanya kepada Imam Ahmad -rahimahullah-: Apa yang lebih engkau cintai, seseorang sendirian makan atau orang tersebut makan dengan temannya? Imam Ahmad -rahimahullah- mengatakan : Dia makan dengan ditemani dan ini akan menjadikan mereka lebih akrab ketika saling tolong menolong. Dan apabila kalian sendiri dan juga yang lainnya tidak memungkinkan untuk memasak makanan, maka tidak mengapa untuk mengumpulkan iuran. Para ulama yang shalih telah mengumpulkan iuran satu dengan lainya. Apabila Al-Hasan melakukan suatu perjalanan beliau mengumpulkan iuran brsama mereka, dan beliau juga menambahkan dari iuran yang telah terkumpul, yaitu dengan diam-diam.[38]
11. Tidur dalam safar
Seorang musafir terkadang pada perjalanan darat dengan terpaksa mesti beristirahat tidur setelah melewati perjalanan yang meletihkan. Dan syariat yang suci ini yang telah mengarahkan kaum manusia kepada semua yang akan memberi kemashlahatan bagi mereka baik yang disegerakan atau yang diakhirkan, termasuk diantara kemashlahatan itu, adalah arahan bagi seorang musafir untuk memilih tempatnya tidur beristirahat. Agar suapaya dia tidak terganggudenganhewan-hewan berbisa maupun hewan-hewan lainnya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
“Jika kalian safar ke negeri yang subur maka biarkan ontamu kenyang memakannya. Dan jika kalian safar ke daerah yang gersang maka bergegaslah untuk berlalu dari tempat tersebut. Apabila kalian berjalan disiang hari[39] menjauhlah dari jalur lintas hewan dan hindarilah sarang hewan-hewan berbisa”.[40]
An-Nawawi -rahimahullah- mengatakan: Ini merupakan adab dari adab-adab ketika dalam perjalanan dan ketika singgah di suatu tempat sesuai dengan bimbingan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Disebabkan serangga-serangga serta hewan-hewan melata diatas tanah termasuk hewan-hewan yang berbisa dan juga hewan buas melintas pada waktu malam hari diatas jalan, karena mudah untuk dilalui. Dan juga disebabkan hewan-hewan tersebut akan memungut makan ataukah selainnya yang terjatuh. Hewan-hewan itu memungut potongan tulang dan selainnya. Apabila seseorang melakukan perjalanan disiang hari melalui jalan tersebut, terkadang dia akan mendapati hewan yang akan mengganggunya, maka sepatutnyalah dia menjauh dari jalan tersebut [41]
Kemudian sepantasnya bagi seorang musafir apabila dia hendak tidur, semamyang akan membantunya untuk bangun mengerjakan shalat shubuh. Dan pada zaman kita ini sarana-sarana seperti itu – walillahil hamdu – suatu yang sudah sangat dimudahkan dengan harga yang sangat murah. Rasul kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memberi perhatian akan hal itu Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersiapkan kafilah/balatentara untuk Perang Khaibar, beliau melakukan perjalanan pada malam hari,dan apabila beliau merasa mengantuk {atau tidur} berjaga-jaga, dan beliau berkata kepada Bilal radhiallahu ‘anhu:” Jagalah aku di malam ini’.”[42]
Dalam riwayat An-Nasa`i dan Ahmad dari riwayat Jubair bin Muth`im radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal Radhiallahu ‘anhu dalam suatu safar: Siapa yang berjaga pada malam tadi sehingga kami tidak tertidur pada saat shalat shubuh? Berkata Bilal: saya…al-hadits.”[43]
Qatadah -radhiallahu ‘anhu- meriwayatkan:
“Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam suatu safar dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak istirahat tidur pada malam harinya, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur terlentang menghadap kearah kanan, dan jika telah mendekati waktu shubuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat lengannya dan meletakkan kepala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas kedua telapak tangannya.”[44]
12. Disunnahkan bagi musafir untuk segera kembali ke keluarganya setelah selesai urusannya dan tanpa menunda-nunda
Disunnahkan bagi seorang musafir apabila dia elah mencapai maksud dari perjalanannya tersebut agar segera kembali kepada keluarga. Tidak berdiam melebihi kebutuhannya. Rasulullah telah membimbing kita kepada adab ini dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Safar itu adalah bagian dari adzab, karena dengan safar ia terhalang untuk makan, minum, dan tidur. Maka jika telah selesai keperluannya maka hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya.”[45]
Ibnu Hajar -rahimahullah- mengatakan: Hadits ini menunjukkan makruhnya berpisah dari keluarganya lebih dari keperluannya. Dan disunnahkan untuk segera kembali kepada keluarganya apalagi ditakutkan kalau-kalau isterinya terabaikan disaat kepergiannya. Diaman berkumpul bersama keluarga akan memberikan kesejukan yang dapat membantu perbaikan baik agama atau duniawiyah. Dan pula berkumpul bersama keluarga akan mendatangkan rasa kebersamaan dan kekuatandalam pelaksaan ibadah.[46]
13. Makruh bagi seorang musafir pulang menjumpai kepada keluarganya di malam hari
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammelarang seseorang untuk mengetuk pintu rumah istrinya pada malam hari.”
Pada riwayat Muslim: “Jika salah seorang dari kalian datang dari suatu perjalanan, janganlah mengetuk pintu rumah istrinya hingga istrinya tersebut telah merapikan dan menyisir rambutnya.”
Dalam riwayat Muslim lainnya: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang laki-laki untuk mengetuk pintu rumah keluarganya pada malam hari, yang akan menyulitkan merek atau mencari-cari kesalahan mereka”[47]
Jadi sepantasnya bagi seorang musafir apabila dia kembali menjumpai istrinya untuk tidak mendatanginya di malam hari, sehingga ia tidak melihat apa yang dia benci dari penampilan istrinya yang tidak rapi.
Berkata An-Nawawi -rahimahullah-: “…bahwa dibenci bagi orang yang bepergian dalam waktu lama lalu menemui istrinya pada malam hari dengan tiba-tiba. Adapun jika jarak safarnya dekat dimana istrinya akan memprediksi kedatangannya diwaktu malam, maka ini tidaklah mengapa sebagaimana disebutkan oleh beliau – Imam Asy-Syafi’i – didalam salah satu riwayat beliau: Apabila seseorang pergi dalam waktu yang lama. Apabila dia bersama dengan kelompok yang besar atau bala tentara dan semislanya dan telah terkenal kedatangan dan waktu tiba mereka dan pula istri dna keluarganya telah mengetahui bahwa suaminya tersebut datang bersama dengan mereka, dan mereka sekarang telah masuk kedalam kota. Maka tidaklah mengapa dia datang kapan saja dikehendakinya, karena alasan yang terkandung dalam larangan telah tertiadakan karena pengetahuan tersebut. Karena maksud dari hal tersebut agar keluarganya mempersiapkan diri dan hal tersebut telah tercapai. Dan diapun sudah datang dengan tiba-tiba .[48]
Saya berkata: Semisalnya apabila mereka mengetahui kedatangannya melalui penyampaian telepon dan semisalnya.
14. Disunnahkan shalat dua rakaat bagi musafir ketika kembali ke negerinya
Diantara petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari suatu perjalanan maka yang pertama kali segera beliau lakukanshalat dimasjid dua raka’at.
Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan: Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila beliau tiba dari suatu perjalanan pada waktu dhuha,beliau mendatangi masjid lalu mengerjakan shalat dua raka’at sebelum beliau duduk “[49]
Ini meruapkan diantara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah terabaikan. Sangat jarang sekali ada yang mempraktekkannya. Kami memohon kepada Allah untuk senantiasa mengikuti sunnah Nbai Engkau Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara zhahir maupun batin. Wabillahi taufiq.
Faedah: Perkataan Ka’ab radhiallahu ‘anhu : “ Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila beliau tiba dari suatu perjalanan pada waktu dhuha ... “
Mneyiratkan bahwa kedatangan seorang musafir pada waktu yang terlarang tidak disyariatkan baginya untuk mengerjakan dua raka’at, akan tetapi perkara ini tidaklah seperti itu.
Ibnu Hajar mengatakan: “ An-Nawawi berkata: Shalat tersebut adalah shalat yang diperuntukkan – baca diniatkan, penj – apabila telah tiba dari suatu perjalanan dengan meniatkan shalat al-qudum. Bukan shalat tahiyyah al-masjid yang diperintahkan bagi seseorang yang masuk kedalam masjid sebelum duduk. Akan tetapi shalat al-qudum ini juga sudah memenuhi shalat tahiyyat al-masjid. Dan sebagian ulama yang menolak pembolehan shalat pada waktu-watu yang terlarang walau itu shalat dengan alasan tertentu, dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ waktu dhuha “. Namun sbada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut tidak dapat dijadikan argumentasi, karena merupakan waqi’ah al-‘ain – kejadian yang berlaku khusus, penj – “[50]
Footnote
[1] . HR. Al-Bukhari, no. 1103, Muslim, no. 1927, Ahmad, no. 7184, Ibnu Majah, no. 2886, Malik, no. 1835, dan Ad-Darimi, no. 2670.
[2] . Al-Adab Asy-Syar`iyyah (1/450).
[3] . HR. Abu Daud, no. 2600, dan di shahihkan oleh Al-Albani –rahimahullah-. Ahmad, no. 4510, At-Tirmidzi, no. 3442, dan Ibnu Majah, no. 2826.
[4] . ‘Aunul Ma`bud Syarh Sunan Abu Daud, jilid 4 (7/187).
[5] . HR Al-Baghawi, dan beliau –rahimahullah- menghasankannya. No. 1346 (5/143).
[6] . HR Al-Bukhari no. 2998, Ahmad, no. 4734, At-Tirmidzi, no. 1273, Ibnu Majah, no. 3768, dan Ad-Darimi, no. 2679.
[7] HR. Abu Daud, no. 2607, dan dihasankan oleh Al-Albani –rahimahullah-. Ahmad, no. 2709, At-Tirmidzi, no. 1674, dan Malik, no. 1831.
[8] ‘Aunul Ma`bud, jilid keempat, 7/191.
[9] HR. Abu Daud, no. 2607, dan berkata Al-Albani –rahimahullah-: “Hadits hasan shahih.”
[10] . Alat musik (Al-Jaras), yaitu alat yang ditabuh. Dan ajrasahu yaitu menabuhnya. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat tidak akan menemani musafir yang membawa alat musik dan menabuhnya….” (Lisanul Arab 6/36) dalam kata: jarasa.
[11] . HR. Muslim, no. 2113, Ahmad, no. 7512, At-Tirmidzi, no. 1703, Abu Daud, no. 2555, dan Ad-Darimi, no. 2676.
[12] . HR. Muslim, no. 2114, Ahmad, no. 8565, dan Abu Daud, no. 2556.
[13] . Syarh Muslim Jilid keenam (14/78).
Saya Katakan: “Jika sebab keenggan para malaikat menemaninya dalam safarnya, karena dia membawa serta lonceng yang merupakan seruling syaithan. Kemudian apakah bisa dikatakan jika ia membawa alat musik, maka malaikat tidak akan menuyertai?
Yang nampak bagiku –wallahu a`lam- bahwa hal itu tidak ada bedanya.
[14] . Lihat Aunul Ma`bud jilid 4 (7/162).
[15] . HR. Al-Bukhari, no. 1088, Muslim, no. 1339, Ahmad, no.7181, At-Tirmidzi, no. 1170, Abu Daud, no, 1733, Ibnu Majah, no. 2899, dan Malik, no. 1833.
[16] . HR. Al-Bukhari, no. 3002, Muslim, no. 1341, Ahmad, no. 1935, dan Ibnu Majah, no. 2900.
[17] . Syarh Shahih Muslim jilid 5 (9/93).
[18] . HR. Muslim, no. 2742, Ahmad, no. 10759, At-Tirmidzi, no. 2191, dan Ibnu Majah, no. 4000.
[19]. Sampai jika ia mengingkari yang demikian penyeru emansipasi wanita di zaman ini sedangkan ia tahu hakikat dirinya, dan tahu taqdir lemahnya. Yang ini merupakan sunnatulllah dalam hal penciptaannya, yang tidak ada ada bandingannya. Akan tetapi yang dikhawatirkan olehnya hanyalah kemunduran dan penyelesihan. Hingga mengikuti perkembangan zaman seperti halnya wanita eropa yang maju !! Harus dapat bepergian sendiri seperti mereka, berpakaian layaknya mereka berpakaian, bekerja disamping kaum laki-laki, apabila seorang wanita tidak melakukannya maka diapun tertuduh telah menyelisihih emnasipasi !. Semoga Allah memberi kami dan mereka rizki untuk konsisten dijalan yang lurus.
[20] . HR. Al-Bukhari, no. 2950, dan Ahmad, no. 15354.
[21] . HR. Abu Daud, no. 2606, dan ini merupakan lafazhnya, dan dishahihkan Al-Albani –Rahimahullah-. Ahmad, no. 15012, At-Tirmidzi, no. 1212, Ibnu Majah, no. 2236, dan Ad-Darimi, no. 2435.
[22] . Syarh Al-Mumti` (5/27-29).
[23] . HR. Abu Daud, no. 1602, dan dishahihkan oleh Al-Albani –Rahimahullah-. At-Tirmidzi, no. 3446.
[24] . HR. Muslim, no. 1342, Ahmad, no. 6338, Abu Daud, no. 6599, At-Tirmidzi, no. 3447, dan Ad-Darimi, no. 2673.
[25] . HR. Muslim, no. 1342, Ahmad, no. 6338, Abu Daud, no. 6559, Ar-Tirmidzi, no. 3447, dan Ad-Darimi, no. 2673.
[26] . HR. Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah (1351) (5/149), beliau –rahimahullah- berkata: “Hadits ini disepakati shahihnya. Dikeluarkan dari jalan Muhammad dari Abdullah bin Yusuf dan dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim dari jalan Ibnu Abi Umar dari Ma`an, keduanya dari jalan Malik.
[27] . Berkata Muhaqqiq Kitab Zaadul Ma`ad: “Sanadnya hasan.” Diriwayatkan oleh Ibnu As-Sinni dalam Kitab Amalul Yaum wal lailah, hal. 197. juga oleh Ibnu Hibban, no. 2337, Al-Hakim, 2/100, dari hadits Shuhaib dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi dan dihasankan pleh Al-Hafidz dalam kitab Amali Al-Adzkar. (Lihat pada catatan kaki Az-Zaad 1/464).
[28] HR. Muslim ( 2718 ), Abu Daud ( 5086 ). Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Yangmendengar telah mendengarkan “ maknanya bahwa setiap yangmendengar telah tersampaikan perkataanku ini kepada selainnya. Al-Khaththabi mengatakan: “ Maknanya setiap orangmempersaksikan pujian kai kepada Allah ta’ala, atas segala nikmat dan cobaan yang baik yang terlimpah dari-Nya.
Dan sabda beliau: “ Wahai Rabb kami sertailah kami dan berilah keutamaan bagi kami “, maknanya adalah jagalah kami, bebaskanlah kami dan lindungilah kami. Dan berilah kami keutamaan dengan segala limpahan nikmat-Mu dan palingkanlah dari kami segala yang buru.
Sabda beliau: “ Kami berlindung kepada Allah dari api neraka”, berada dalam keadaan manshub sebagai haal. Maknanya: Saya katakan ini dalam keadaan saya mengharapkan perlindungan dari Allah akan api eraka. Sebagaimana dikatakan oleh An-Nawawi didalam Syarh Muslim jilid 9 ( 17 / 34 – 35 )
[29] . HR. Abu Daud, no. 1536, dihasankan oleh Al-Albani. Ahmad, no. 7458, At-Tirmidzi, no. 1950, dan Ibnu Majah, no. 3862.
[30] . HR. Al-Bukhari, no. 1000, Muslim, no. 700, Ahmad, no. 4936, At-Tirmidzi, no. 472, An-Nasa`i, no. 490, Abu Daud, no. 1224, Ibnu Majah, no. 1200, Malik, no. 271, dan Ad-Darimi, no. 1590.
[31] . Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil-Buhuts al-Ilmiyyah wal-Iftaa` (8/123-124) no. 1375.
[32] . HR. Muslim, no. 1708, Ahmad, no. 26579, At-Tirmidzi, no. 3437, Ibnu Majah, no. 3547, dan Ad-Darimi, no. 2680.
[33] . At-Tamhid (24/186).
[34] . Fathul Majid Syarh Kitab At-Tauhid, hal. 161. Cetakan: Daar Al-Yaqiin, penerbit dan percetakan (Mesir)
[35]. HR. Abu Daud, no. 2627, dan dishahihkan oleh Al-Albani –Rahimahullah-. Ahmad, no. 17282.
[36]. HR. Abu Daud, no. 3746, dan dihasankan oleh Al-Albani –Rahimahullah-. Dan Ibnu Majah, no. 3286.
[37]. Lihat Kitab Al-Adab Asy-Syar`iyyah (3/182).
[38]. Al-Adab Asy-Syar`iyyah (3/182)
[39]. Al-Mu`arris, yaitu yang berjalan di siang harinya dan kemudian singgah diawal malam. Ada yang berpendapat bahwa makna at-ta’riis adalah turun dan singgah diakhir malam. Makna ‘irsu al-musafir: yaitu ketika dia singgah diwkatu sahur – menjelang shubuh -. Yang lainnya mengatakan: at-ta’riis adalah seorang musafir yang singgah diakhir malam, kemudian duduk beristirahat, mengaso dan tidur yang ringan kemudian ia bangun disaat terbitnya subuh harinya. Demikian dikatakan dalam kitab Al-Lisaan (6/136) dalam kata: Arasa
[40]. HR. Muslim, no. 1926, Ahmad, no. 8237, At-Tirmidzi, no. 2858, Abu Daud, no. 2569.
[41]. Syarh Shahih Muslim, jilid keenam (13/59).
[42]. HR. Muslim, no. 680, Abu Daud, no. 435, Ibnu Majah, no. 697, dan Malik, no. 25.
[43]. HR. An-Nasa`i, no. 624, dan Ahmad, no. 16304.
[44]. HR. Muslim, no. 683 dan Ahmad, no. 22126.
[45]. HR. Al-Bukhari, no. 1804, Muslim, no. 1927, Ahmad, no. 7184, Ibnu Majah, no. 2882, Malik, no. 1835, dan Ad-Darimi, no. 2670.
[46]. Fathul Bari (3/730).
[47]. HR. Al-Bukhari, no. 1801, Muslim, no. 715, dalam Kitab Al-Imarah.
[48]. Syarh Shahih Muslim, jilid 6 (13/61).
[49] HR. Al-BUkhari ( 3088 ), Muslim ( 2769 ) dan Ahmad ( 15345 )
[50] Fathul Baari ( 1 / 640 )