Abu Syah Umar



Puluhan tahun silam, tepatnya di kala Indonesia tengah dijajah oleh bangsa Jepang, saat itu kondisi masyarakat Indonesia sangatlah menderita. Kebodohan merajalela, ketidakadilan dianggap suatu hal yang biasa, dan masyarakat Indonesia seperti berada dalam gubuk derita yang setiap harinya terasa begitu lama dan penuh penderitaan. Hak-hak masyarakat Indonesia diinjak-injak penjajah dan bangsa Indonesia dianggap sebagai babu bagi mereka. Ketika semua itu melanda Indonesia, di suatu wilayah kecil di bagian barat pulau Jawa, tepatnya Jawa Barat jika pada masa sekarang, ada sebuah kisah perjuangan bangsa Indonesia menuju Negara yang merdeka.

Kisah ini berawal pada sebuah gubuk reot milik penduduk setempat yang kehidupan sehari-harinya adalah bercocok tanam di kebun teh yang dikuasai oleh penjajah, yang hasil dari bercocok tanam tersebut, sebagian besar hasilnya diberikan untuk para penjahat itu. Gubuk reot tersebut terbuat dari anyaman bambu dengan atap dari daduk (daun tebu kering). Di dalam gubuk tersebut tinggalah sebuah keluarga miskin yang terdiri atas orang tua dan kedua anaknya. Anak pertama bernama Abu, yakni laki-laki bertubuh kekar usia 19 tahun dan anak kedua bernama Aisyah, perempuan berjilbab yang badannya kurus kerempeng usia 15 tahun. Keluarga tersebut setiap harinya selalu menerima cacian dan siksaan dari para penjajah hingga seringkali mereka berpuasa karena tidak ada yang dapat dimakan lantaran tidak ada uang upah dari para penjajah itu untuk membeli bahan makanan. Tidak hanya itu, para penjajah juga sering memaksa mereka berkerja hingga tidak tidur seharian.

Melihat kondisi keluarganya yang jauh dari kata sejahtera, kedua orang tua dari Aisyah dan Abu pun merasa tidak sanggup lagi jika harus menjalani kehidupan ini setiap hari. Mereka pun akhirnya meminta agar kedua anaknya pergi merantau untuk dapat bergabung dengan pasukan militer agar dapat membantu berjuang melawan para penjajah karena sudah selayaknya di usia mereka yang sudah remaja itu untuk membantu masyarakat Indonesia menentang para penjajah. Akhirnya, demi kesejahteraan keluarga dan bangsanya, kedua anak muda itu bersedia untuk memenuhi permintaan kedua orang tuanya.

Pagi itu, di kala semua orang masih tertidur, mereka berdua bergegas meninggalkan gubuk reot tersebut dan berpamitan kepada kedua orang tuanya,
“Emak, saya pamit dulu ya… Insya Allah, saya akan segera kembali kesini dan membawa bendera kemerdekaan untuk bangsa Indonesia dan juga penduduk sini. Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hambanya, Mak…” ucap Abu sembari mencium tangan Ibunya.
“Iya, nak… Dan pesan dari emak, jangan terlalu berharap kepada orang lain, serahkan semuanya kepada Allah. Agar ketika semua tidak berjalan sebagaimana mestinya, engkau tidak kecewa karena orang lain. Allah itu maha Kuasa atas segalanya, Dia-lah yang mengatur segala urusan di dunia dan isinya, jadi wajar jika semua itu tidak sesuai dengan yang kita inginkan karena semua itu adalah rencana dari Allah SWT.” Tambah Ibunya menguatkan hati kedua anaknya.
“Dan kamu Aisyah, jaga baik-baik kakakmu! Ingatkan kakakmu jika suatu ketika ia melakukan kesalahan, dan bantu dukung kakakmu di kala suka ataupun duka. Jadilah kalian berdua seperti tangan, yang saling menolong satu sama lain, jika tangan kanan gatal, tangan kiri yang menggaruknya, dan sebaliknya. Jangan kalian seperti telinga, jika telinga kana nada antingnya, maka telinga kiri juga demikian, dan sebaliknya. Gunanya kalian berdua bersama adalah untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan.” Tambah ayahnya. Setelah berpamitan, kedua pemuda tersebut akhirnya meninggalkan tempat tersebut dan berjalan ke arah timur dengan bekal seadanya.

Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di suatu pasar gelap, sebut saja “Black Market” namanya. Di pasar tersebut, banyak dijual senjata, baju perang, dan atribut-atribut perang hasil rampasan penduduk Indonesia yang berhasil merampasnya dari penjajah. Ternyata daerah tersebut belum diketahui oleh penjajah karena tempatnya yang sangat terpencil. Tempat tersebut disebut pasar gelap karena jual belinya adalah dengan barter tanpa adanya izin resmi dari penguasa (Jepang). Namun, hal tersebut tentunya merupakan kesempatan baik bagi masyarakat Indonesia untuk dapat lebih leluasa melawan para penjajah itu. Karena sepertinya sudah menjadi rencana Allah SWT bahwa mereka telah dibawa ke tempat itu untuk suatu maksud yang besar. Mereka berdua pun bermaksud untuk membeli senjata dan baju perang di tempat tersebut serta kuda sebagai tunggangan mereka untuk menempuh perjalanan. Namun ternyata, mereka tidak memiliki benda apapun untuk dapat ditukarkan dengan benda yang mereka inginkan. Merasa kecewa, akhirnya mereka mengurungkan niatnya. Namun, teringat pesan Ibunya bahwa mereka jangan terlalu tergantung pada orang lain, namun serahkan semuanya pada Allah SWT. Mereka pun terus bertanya dan memohon kepada semua penjual yang ada agar dapat memberikan barang mereka secara Cuma-Cuma, hingga setelah puluhan orang yang mereka hampiri, bertemulah mereka dengan satu orang yang baik hati memberikan apa yang mereka inginkan, namun dengan berbagai persyaratan.
“Anak muda, sepertinya engkau terlihat sangat lelah sekali, ada apa gerangan?” Tanya seseorang kepada mereka.
“Kami adalah perantau dari Jawa Barat bermaksud untuk mencari bantuan untuk penduduk di daerah kami untuk melawan para penjajah. Kami memerlukan persenjataan dan juga peralatan perang agar kami dapat memiliki kekuatan untuk mengalahkan para penjajah itu. Namun ternyata, para penjual di sini tidak bersedia memberikan Kami senjata untuk dapat kami gunakan. Maukah tuan membantu kami?” Jelas Abu kepada orang tersebut
“Apa yang kalian punya?”Tanya orang tersebut
“Tidak ada tuan, Kami hanyalah penduduk miskin tidak memiliki benda berharga apa pun.” Jawab Abu
“Hmm, kasihan sekali kalian. Sebenarnya aku mempunyai apa yang kalian butuhkan. Aku memiliki senjata-senjata jarak jauh yang mungkin akan sangat membantu kalian. Namun, peraturan di Black Market ini, kalian harus memiliki sesuatu untuk ditukarkan atau…..” penjelasan orang tersebut tiba-tiba saja tertahan.
“Atau apa tuan? Apapun akan Kami usahakan!”Tanya Aisyah karena merasa penasaran.
“Sebenarnya ini tidak boleh dilakukan, namun melihat semangat kalian. Aku akan membantu kalian, karena hal ini akan sangat berbahaya bagi Kami semua yang ada di sini. Namun Aku yakin, kalian pasti bisa melaksanakannya.” Jelas orang tersebut.
“Oiya, Tuan, sebelumnya perkenalkan saya Abu dan ini adik saya Aisyah!” Tanya Abu penasaran.
“Kenalkan juga, nama saya Utsman, senang mengenal kalian!” ucapnya sambil menjabat tangan kedua pemuda tersebut.
“Mengenai apa yang saya maksud tadi, sebenarnya tempat ini juga merupakan tempat yang tidak aman, karena kami di sini berada di bawah pengaruh Sang Jagal Manusia, Laksamana Umar, ia merupakan panglima Jepang yang setiap harinya tidak pernah lepas dari membunuh manusia yang menentangnya. Namun saat ini Beliau sudah tidak terikat hubungan dengan Jepang, Beliau ingin membuat Negara sendiri” Tambah Tuan Ustman menjelaskan.
“Benarkah ada orang seperti itu, Tuan?” Tanya Abu semakin penasaran.
“Ya, benar sekali. Bahkan seluruh senjata yang ada di sini merupakan seluruh senjata hasil rampasan beliau dari orang-orang yang telah dibunuhnya.” Jelas Utsman.
“Lantas, apa maksud tuan memberitahu saya hal ini?” Tanya Aisyah yang juga ikut penasaran.
“Sudah jelas, seandainya kalian mampu menaklukkan tuan Umar, kalian dapat menguasai tempat ini dan tentunya kalian bebas memilih senjata mana yang kalian inginkan.” Jelas Utsman.
“Baiklah, tuan. Berikan kami waktu untuk dapat memikirkan terlebih dahulu, apa yang dapat kami lakukan.” Ucap Abu sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Oiya, umur kita seperti tidak terpaut terlalu jauh, jangan panggil saya tuan. Panggil saja Utsman, saya tunggu kalian esok pagi di sini ya…” ucap Utsman sambil menjabat tangan Abu pertanda dirinya mendukung tindakan Abu.
Mendengar apa yang telah diceritakan oleh Utsman, Abu dan Aisyah berdiskusi cukup panjang dan mencari jalan terbaik yang harus mereka lakukan. Namun apapun strategi yang mereka sampaikan, selalu memiliki resiko yang sangat menganjam jiwa mereka. Hingga mereka pun akhirnya menyudahi diskusi tersebut dan melakukan Sholat Istikharah, memohon petunjuk kepada Allah SWT. Hari pun telah berganti pagi, tiba waktunya Abu dan Aisyah harus menemui Utsman di tempat mereka kemarin bertemu.
“Bagaimana tidur kalian? Apakah nyaman berada di hutan seperti ini?” Tanya Utsman basa-basi.
“Lumayan nyaman, tuan. Dengan ditemani nyamuk-nyamuk yang senantiasa menghisap darah kami, rasanya hutan ini tidak terlalu sepi.” Jawab Abu mencairkan suasana.
“Ah, kamu ini bisa saja. Oiya, bagaimana dengan penawaran saya kemarin?” Utsman mulai mengajak pembicaraan serius.
“Baiklah! Hari ini juga, saya ingin agar tuan, eh utsman bersedia untuk memberikan surat ini kepada beliau. Dan saya akan menunggu beliau di gubuk buatan kami kemarin.” Jelas Abu pada Utsman.
“Surat? Kalian akan menantangnya melalui Surat?” Tanya Utsman serasa tidak percaya.
“Iya, tuan. Saya mohon Anda bersedia menyerahkannya kepada Laksamana Umar.” Ucap Abu memohon.
“Baiklah, saya akan membantu kalian.” Ucap Utsman meyakinkan.
Akhirnya mereka pun sepakat dan meninggalkan tempat itu sesuai kesepakatan yang sudah mereka buat. Utsman menitipkan surat tersebut kepada asisten laksamana Umar agar disampaikan kepadanya. Sementara Abu dan Aisyah pergi ke gubuk daun dan ranting pohon mereka dan melakukan sholat Dluha. Tak lama kemudian, rupanya Laksamana Umar langsung membaca surat tersebut dan merasa tidak terima dengan isi surat tersebut hingga ia pun segera bergegas menuju gubuk Abu. Sesampainya di sana, rupanya Abu masih tengah berdoa sementara Aisyah tengah membaca Al-Quran. Karena Laksamana Umar ini adalah orang yang belum mengenal apa itu agama, ia pun merasa kebingungan melihat tingkah Abu dan Aisyah tersebut. Merasa penasaran, Laksamana Umar mengendap-endap mendekati  tempat tersebut dan mengamati apa yang mereka lakukan sembari membidikkan senapannya ke arah mereka berjaga-jaga seandainya mereka melakukan hal yang mencurigakan. Semakin lama semakin didengarkan dan dilihat, Laksamana terfokus pada Aisyah yang tengah membaca Al-Quran, diamatinya gadis remaja tersebut hingga Umar terpesona akan kecantikan dan suara merdunya.
“Amazing, gadis yang sangat indah. Dan apa yang dibacanya tersebut sangatlah indah sepadan dengan kecantikan dan keanggunannya.” Gumam Laksamana Umar yang tanpa terasa menjatuhkan senapannya. Dan tiba-tiba saja…
“Krek!” kaki Laksamana Umar menginjak ranting kering.
“Siapa di sana?” teriak Abu kaget.
“Saya??? Saya Laksamana Umar, penguasa tempat ini. Dan siapa kalian? Apa yang kalian lakukan di sini?” ucap Laksamana dengan tegas dan lantang.
“Ooo, Jadi Andakah laki-laki yang tengah berjasa melindungi tempat ini dari para penjajah Jepang yang biadap itu? Perkenalkan, kami berdua adalah perantau dari negeri sebrang yang kebetulan singgah di tempat ini.” Ucap Abu sambil menghampiri Laksamana Umar dan menjabat tangan serta memeluknya pertanda ia menganggapnya sebagai saudaranya.
“Hei, lepaskan! Apa-apaan ini? Jadi kalian kah yang berani-beraninya menulis surat tantangan ini?” Tanya Laksamana Umar seolah tidak terima.
“Tidak tuan, kami hanya ingin mengundang Anda kesini untuk mempererat tali persaudaraan, Tuan.” Jelas Abu seolah biasa saja.
“Lantas! Apa maksud kalian menulis surat ini dengan bertuliskan. ‘SAYA TUNGGU KEDATANGAN ANDA DI GUBUK SEBELAH BARAT BLACK MARKET!’ berani-beraninya kalian menantang saya seperti ini? Ha???” teriak Laksamana Umar mulai marah.
“Sebelumnya, Tuan. Adakah dari kata-kata tersebut yang menuturkan bahwa kami menantang, Tuan?” Jelas Aisyah si penulis surat tersebut.
“Tuan hanya terlalu emosi dalam membaca surat itu, Tuan. Kami hanya bermaksud mengundang tuan kemari.” Tambah Abu.
“Apa kalian katakana? Berani-beraninya kalian mempermainkan seorang Laksamana Umar! Belum tahukah kalian siapa saya?” teriak Laksamana Umar semakin marah.
“Seperti yang Kami katakana di awal tuan. Setahu kami, tuan adalah pelindung tempat ini. Jadi saya yakin bahwa tuan adalah orang yang baik hati karena bersedia melindungi kami dari para Penjajah.” Jelas Abu
“Benarkah seperti itu?” Tanya Laksamana Umar yang mulai mereda kemarahannya.
“Benar tuan, dan maksud kedatangan kami kemari adalah ingin meminta bantuan tuan untuk dapat menyelamatkan desa kami.” Jelas Aisyah.
“Membantu? Saya bukan orang yang semudah itu untuk diminta bantuan. Namun harus ada timbale balik untukku.” Jelas Laksamana Umar.
“Apa yang harus kami lakukan, tuan?” Tanya aisyah dengan tenang.
“Hingga saat ini, baru kulihat ada wanita secantik engkau dan memiliki suasana yang merdu. Seandainya engkau bersedia menjadi pendamping hidupku, apapun akan aku lakukan untuk kalian.” Jelas Laksamana Umar.
“Asal engkau bersedia membantu Kami, tentu itu bukanlah suatu yang terlalu besar, tuan. Namun sebelumnya, apa agama tuan?” ucap Aisyah.
“Agama? Apa itu?” Tanya Laksamana Umar penasaran.
“Agama itu merupakan kepercayaan akan adanya Tuhan, tuan. Apakah tuan tidak memiliki Agama?” jelas Abu menimpali.
“Iya, tuan. Jika tuan ingin menjadi pendamping hidup saya, tuan harus memiliki agama yang sama dengan saya, yakni agama Islam.” Tambah Aisyah.
“Baiklah, apapun akan saya lakukan asal engkau bersedia menjadi pendamping hidupku.” Jelas Laksamana Umar.
Akhirnya Laksamana Umar pun menerima tawaran mereka dan mengumpulkan seluruh penduduk Black Market  kemudian menyampaikan permohonan Abu dan Aisyah untuk membantunya. Mereka pun menuju desa tempat Aisyah dan Abu tinggal dan penjajah pun berhasil ditaklukkan dengan perjuangan yang cukup panjang. Kemenangan pun dapat diraih dan daerah tempat Aisyah dan Abu pun dapat hidup sejahtera di bawah pimpinan Laksamana Umar. Untuk menghargai jasa-jasa para pahlawan tersebut, daerah tersebut pun disebut dengan nama Abu Syah Umar. Dan di akhir cerita, Umar masuk Islam dan mulai mempelajari Islam hingga ia pun menjadi orang yang sangat alim dan bahkan menjadi Ustadz di tempat tersebut serta selalu menceritakan kisah hidupnya yang dulu sangatlah kelam.
-=THE END=-
NB :
- Tidak ada maksud untuk SARA dan cerpen ini didekasikan untuk para pahlawan di Indonesia yang jasanya tidak tercatat dalam sejarah, namun memiliki peran dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
- Cerpen ini murni fiksi, adapun kesamaan nama, karakter, dan tempat adalah rencana Allah SWT.